Kamis, 22 September 2011

Studi Bahasa Arab di PTAI

0

STUDI BAHASA ARAB DI PERGURUAN TINGGI
AGAMA ISLAM


A.    Pendahuluan


Sebagaimana kita ketahui, bahwa bahasa Arab merupakan bahasa asli bangsa Arab. Bangsa ini tumbuh dan berkembang di kawasan Timur Tengah. Di kawasan inilah bangsa ini menggunakan bahasa Arab dalam berbagai kegiatan bidang sosial keagamaan, budaya, ekonomi bisnis dan komunikasi baik lisan maupun tulisan.
            Perkembangan lebih lanjut tentang penggunaan bahasa Arab sebagaimana dikutif Imam Bamawi,[1]  ternyata bukan saja oleh orang Arab sendiri  di negara-negara Arab di kawasan Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Maroko, Al-Jazair, Tunisia, Libia, Mesir, Sudan, Libanon, Siria, Yordania, Irak dan Persaatuan Emirat Arab bahkan juga digunakan oleh sebagian masyarakat di kawasan Eropa, Amerika, Asia termasukk Indonesia.
            Untuk kawasan yang disebut terakhir, studi bahasa Arab telah di kenal berabad-abad lamanya, sejalan dengan munculnya penyebaran agama Islam itu sendiri.  Bukti mengenai hal itu dapat kita lihat di sejumlah pondok pesantren di Tanah Air. Di lembaga pendidikan tersebut, bahasa Arab tidak hanya digunakan dalam studi literatur saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi wajib bagi santri. Khsusus jalur pendidikan sekolah agama Islam, mulai tingkat dasar, menengah hingga Perguruan Tinggi, bahasa Aarab kiranya telah menjadi konsumsi, siswa mahasiswa.Hal tersebut dapat kita liahat dalam sejumlah kurikulum maupun literatur yang mencoba mengarahkan siswa untuk dapat menguasai bahasa Arab dengan tingkat tertentu.[2]
            Jika dilihat dalam perspektif agama, bahasa Arab identik dengan bahasa agama. Orang yang mempelajari sumber utama Islam sesuai dengan makna teks aslinya, maka ia tidak bisa memahaminya dengan baik, tanpa menggunakan bahasa Arab. Sementara itu kita ketahui bahwa  Al-Quran adalah kitab orang Islam. Allah SWT. sengaja  menurunkan kitab suci Al-Quran itu dengan meggunakan bahasa Arab. Begitu juga sumber ajaran agama yang dikenal dengan al-Hadits atau Sunnah Rasul itu, menggunakan bahasa Arab. Nabi Muhammad SAW. bukan hanaya diutus untuk kalangan dan bangsanya sendiri, melainkan diutus untuk seluruh umat manusia. Dengan demikian, bahasa yang digunakan Nabi Muhammad (bahasa Arab) yang memang beliau diperuntukkan kepada seluruh umat manusia, teutama muslim wajib dipelajari oleh mereka. Bahkan kita juga melihat literatur agama Islam yang dipakai umat Islam di hampir seluruh Indonesia yang merupakan transformasi ilmiah dari khazanah intelektual periode  klasik, pertengahan dan modern  juga banyak menggunakan bahasa Arab.
            Bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, terutama masyarakat perguruan Tinggi Agama Islam, sudah semestinya mempunyai tanggungjawab di dalam proses pembelajaran bahasa Arab. Tujuannya adalah agar bahasa Arab, secara fungsional dimiliki dan dipakai oleh masyarakat perguaruan tinggi khususnya dan uamat Islam Indonesia pada umumnya. Sehingga bahasa Arab dapat berkembang lebih baik untuk masa yang akan datang. Persoalan kita adalah, bagaimana peran yang dimainkan perguruan tinggi agama Islam dalam mengembangkan bahasa Arab di tanah air. Strategi apa yang dipakai Perguruan Tinggi Agama Islam, seperti halnya IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, dalam proses pembelajaran bahsa Arab untuk mencapai tujuan ideal itu. Kedua persoalan tersebut sangat penting untuk dicarikan solusinya dalam tulisan singkat ini.

B.     PerguruanTinggi Agama Islam dan Urgensi Studi Bahasa Arab


      1. Eksistensi Perguruan Tinggi Agama Islam
            Menuru PP No. 60 tahun 1999 [3] tentang Pendidikan Tinggi, pasal 1 (2) bahwa Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi. Tujuan perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi adalah: Pasal 2 (1) 1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan IPTEK dan /atau kesenian dan budaya. 2. Mengembangkan, menyebarluaskan IPTEK dan /atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan tarap kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
            Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa tugas Perguruan Tinggi merupakan produsen atau pabrik yang memproses manusia Indonesia yang memiliki kualitas sebagai : ilmuwan, propesional, pengembang dan penyebar IPTEK, dan sekaligus penerap IPTEK kepada masyarakat.
            Sementara itu, arah yang akan dicapai dalam proses pendidikan nasional, adalah terwujudnya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi tinggi dan menguasai IPTEK serta mensejahterakan masyarakat , maka posisi perguruan tinggi, termasuk didalamnya perguruan tinggi Agama Islam adalah sangat Urgen. Mengingat sistem nilai yang diterapkan di perguruan tinggi sangat syarat dengan moralitas Agama, maka pembelajaran Agama dengan ilmu bantunya (bahasa Arab) merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan.
            Dengan demikian, perbedaan antara Perguruan Tinggi Umum dan Perguruan Tinggi Agama Islam adalah terletak pada SDM dan materi kajiannya. Perbedaan materi kajian itu sendiri hendaknya didisain sedemikian rupa sehingga Perguruan Tinggi Agama Islam mempunyai peran ganda mencetak sarjana dan sekaligus Ahli Agama, dengan istilah lain lulusan Perguruan Ttinggi Agama Islam, untuk semua fakultas yang ada hendaknya menjadi sarjana Islam yang muslim, yakni sarjana ilmu-ilmu Islam yang sekaligus juga menjadikan ilmunya sebagai pegangan hidup.[4]

     2. Urgensi Studi Bahasa Arab Di Perguruan Tinggi Agama Islam
a.       Perguruan Tinggi dan Transformasi Ilmu Pengetahuan
Mengingat posisi dan peran Perguruan Tinggi Agama Islam yang begitu penting dalam upaya mempersiapkan mahasiswa menjadi sarjana Islam yang muslim, maka studi ilmu-ilmu keislaman hendaknya dilakukan dengan menggunakan bahasa transformasi teks agama yang asli. Bahasa  teks agama tidak lain adalah bahasa Arab. Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa untuk memahami sebuah ajaran atau teks agama bisa saja dengan menggunakan bahasa terjemahan. Akan tetapi perlu di ingat bahwa terjemahan dari sebuah teks itu kadang-kadang mengandung subjektifitas penerjemahnya, yang berarti telah terjadi bias interpretasi. Oleh sebab itu, Muhammad Arqoun mengingatkan pentingnya studi teks secara jeli dan hati-hati dengan menggunakan pendekatan dan metodologi tertentu yang benar-benar sesuai dengan pesan teks tersebut.[5]
b.      Bahasa Arab Sebagai Bahasa Ilmiah
Semenjak adanya pengakuan masyarakat Internasional terhadap bahasa Arab ini, maka tampak jelas bahwa bahasa arab semakin menempati posisi penting didalam percaturan internasional ini. Masyarakat internasional terutama negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika Serikat, mulai tertarik untuk mempelajari sekaligus menggunakan bahasa ini sebagai media komunikasi. Berbagai penerbitan di Amerika Serikat  seperti “Al-Ma’had Al-AlamyLil Fikr Al-Aslamy”, juga di terbitkan dengan menggunakan bahasa arab, di samping bahasa asing lainnya.
            Di kawasan negara–negara  Arab dan Timur Tengah, segera kita jumpai sebuah Jurnal seperti”Al Wa’yu al-Islamy”,yang beredar bukan hanya di kawasan negara-negara Arab dan Timur Tengah, namun juga beredar di kawasan Asia, dan Asia tenggara termasuk Indonesia.  Demikian juga di kawasan Eropa, seperti di Inggris, dan Belanda, kita ketahui juga terdapat Jurnal Ilmiah yang memfokuskan diri pada studi lslam dengan menggunakan bahasa Arab yang sangat fasih dan didistribusikan ke berbagai kawasan dunia.
            Arti semua itu adalah, bahwa bahasa Arab telah menjadi bahasa ilmiah, akademis, dan sekaligus bahasa populer masyarakat internasional. Dengan demikian mempelajari bahasa Arab sebagai alat menyampaikan kebenaran ilmu pengetahuan, dengan sendirinya menjadi sangat penting. Dalam persfektif ini, Perguruan Tinggi Agama Islam yang menggunakan bahasa arab sebagai alat untuk memahami teks asli ajaran agama maupun alat komunikasi bagi sivitas akademikanya, hendaknya dilihat secara fungsional, bukan sebatas simbul dari sebuah peradaban semata? (Undhur Ma Qala Wala Tandhur Man Qala).  Sebuah kebenaran ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh orang yang secara ideologis bukan orang Islam dengan menggunakan bahasa Arab, akan sama nilainya dengan kebenaran ilmu pengetahuan yang di sampaikan oleh orang yang secara ideologis orang lslam yang menggunakan bahasa selain Arab.  
Di sini tampak jelas, bahwa semua orang yang belajar atau mengajar di perguruan tinggi Islam khususnya, sudah semestinya mengerti, memahami dan menguasai bahasa Arab. Bahkan untuk perguruan tinggi umum sekalipun dalam kasus mata kuliah dan literatur tertentu yang menggunakan bahasa arab, maka dengan sendirinya harus mengetahui dan harus menguasai bahasa arab tersebut.[6] Oleh karena itu, sangat ironis memang, kalau ada Perguruan Tinggi Agam Islam di dalamnya tidak ada nuansa arabnya, apalagi tidak diwajibkan sivitas akademikanya untuk menggunakan bahasa Arab sebagaimana diwajikannya bahasa yang lainnya.
c.       Bahasa Arab Sebagai Simbol Agama dan Pemersatu Umat
Dalam perspektif ini bahasa Arab dipandang sangat penting sebagai bahasa simbolis agama dan sekaligus pemersatu umat muslim. Di satu sissi bahasa Arab merupakan bahasa pilihan Allah SWT. dalam menyampaikan wahyu berupa Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW. bagi segenap umat manusia. Namun sekaligus mempunyai misi utama yakni dengan keseragaman bahasa, umat Islam di seluruh dunia dapat dengan mudah melakukan konsolidasi. Kenyataan umat Islam di seluruh dunia masih jauh dari cita-cita persatuan dan persaudaraan, menurut hemat penulis, lebih disebabkan oleh danya skat dan penggunaan simbol bahasa yang tidak dipakai secara maksimal. Kalau orang menggunakan bahsa Inggris misalnya, di manapun dia berada, maka masyarakat akan segera memperlakukannya dengan standar internasional. Begitu hebatnya bangsa-bangsa di dunia menggunakan sandar bahasa Inggris itu di forum PBB, atau negara G 7 dan sebagainya, sehingga mereka mempunyai peradaban standar internasional.
            Berbeda dengan fenomena yang terjadi di negara-negara yang tergabung dalam  OKI (Oraganisasi Konferensi Islam) yang mayoritas anggotanya dari negara-negara yang menggunakan bahasa Arab, kiranya belum menunjukkan sebagai bangsa yang bernasib nomor 1. Bahkan strategi sosialisasinya antara lain melalui bahasa Arab sebagai bahasa resmi di forum tersebut pun belum maksimal. Akibatnya persatuan dan persaudaraan antara bangsa-bangsa yang menggunakan bahasa Arab pun belum tampak ke permukaan.
            Oleh karena itu, tugas kita sebagai masyarakat perguruan tinggi Islam, sudah sewajarnya apabila kita turut membantu memaksimalkan peran kita dalam mensosialisasikan bahasa Arab sebagai bahasa simbol agama dan persatuan umat. Peran seperti itu tidaklah cukup dalam forum ibadah haji dan umroh dalam arti prosesi ritualnya saja, melainkan lebih dari itu, hendaknya dapat terealisir dalam forum-forum persaudaraan umat Islam internasional lainnya secara lebih nayata lagi.

C.  Strategi Studi Bahasa Arab di Perguruan Tinggi Agama Islam
1.  Pokok-pokok Studi Bahasa Arab
Untuk memaksimalkan studi bahasa Arab di Perguruan Tinggi Agama Islam, maka perlu diperhatikan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bahasa Arba, sebagai sbagai berikut : [7]
1. Ilmu Ashwat (Fonologi)
            Imu ashwat adalah cabang ilmu bahasa yang membicarakan perihal bunyi ucapan yang dipakai dalam bercakap-cakap sekaligus mempelajari bagaimana mengucapkan bunyi-bunyi ucapan itu dengan benar. Hal ini penting sekali dan merupakan aspek awal bagi orang yang hendak belajar bahasa Arab terutama bagi orang asing (غير الناطقين بها (. Cara mengucapkan abjad bahasa Arab dengan fasih dan benar adalah pekerjaan yang tidak sepele. Orang yang terbiasa mengucapkan ‘ngain’ membutuhkan waktu yang cukup untuk menggantinya dengan ucapan ‘ain’ secara lebih fasi dan benar.
2. Ilmu Sharaf (Morfologi)
            Ilmu Sharaf adalah cabang ilmu bahasa yang membicarakan perihal pembentukan kata (بنية الكلمات (. Dalam hal ini, penekanannya adalah bagaimana kita mengenal pembentukan kata dan perubahannya, jenis kata dan variasi-variasinya. Sebagai contoh dari kata;  كتب    bisa mengalami aneka perubahan menjadi  bentuk–bentuk  lain dengan arti yang berbeda-beda, diantaranya menajadi; يكتب, كتابة, كتاب, كاتب, مكتوب, أكتبْ, مكتب . Demikian pula dari kata ini bisa dikembangkan pada bentuk lain menurut jenisnya (مذكر  dan مؤنث )  dan kuantitasnya (مفرد-مثنى-جمع  ), diantaranya menajadi ; كاتب-كاتبة, كابان-كاتبتان, كاتبون-كاتبات . Semua perubahan kata tersebut menunjukan variannya tersendiri dan arti yang berbeda-beda.
3. Ilmu Nahwu (Sintaksis)
            Ilmu nahwu adalah cabang ilmu bahasa yang membicarakan perihal dasar-dasar dan proses pembentukan kalimat. Sasarannya bukan lagi huruf ataupun kata, melainkan kalimat yang berbentuk struktur dan mempunyai arti yang lengkap dan dapat dipahani oleh orang lain. Karena ilmu nahwu itu membicarakan struktur kata dalam kalimat, maka ruang lingkup kajiannya berkisar pada aspek-aspek yang terkait dengan kalimat itu sendiri (جملة), diantaranya pola-pola kalimat yang dibedakan pada kalimat nominal (جملة اسمية ) dan kalimat verbal (جملة فعلية), jabatan-jabatan kata dalam suatu kalimat, seperti;مبتدأ, خبر, فاعل, مفعول به, نائب فاعل dan sebagainya. Selain itu, dibahas pula perubahan bunyi ujung kata (الإعراب) dalam suatu kalimat dan tanda-tandanya karena terkait dengan jabatannya.
4. Ilmu Dirasat Mu’jamiyah (Leksiologi)
            Cabang ilmu ini adalah yang mempelajari perihal pembendaharaan kata. Bagi orang yang sungguh-sungguh ingin belajar bahasa Arab, maka ilmu ini hendaknya diperhatikan. Sebab bahsa Arab dikenal sangat  kaya dengan perbendaharaan katanya. Banyak hal yang menjadi pengembangan  dalam ilmu ini, diantaranya menelusuri perbendaharaan kata dengan kategori persamaan arti/sinonim ( مرادف  ), persmaan kata namun beda arti/homonim ( مشترك  ) dan lawan kata/antonim ( مضاد  ). Perbendaharaan kata itu pada prosesnya bisa ditelusuri dengan menelaah dan memberdayakan kamus dengan segala karakteristiknya.
5.      Ilmu Balaghah (Stilistika)
Ilmu Balaghah adalah cabang ilmu bahasa yang membahas perihal aspek-aspek kesastraan dalam bahasa Arab. Dalam aplikasinya ilmu ini mencakup tiga macam kajian, yaitu Ilmu Bayan, Ilmu Ma’ani dan Ilmu Badi’. Masing-masing dari ketiga ilmu ini memeliki orientasi kajian tersendiri, namun semuanya bermuara pada pengungkapan keindahan-keindahan dalam struktur bahasa Arab.

2.  Metode dan Strategi Studi Bahasa Arab
Kalau kita perhatikan proses pembelajaran bahasa Arab di Indonesia, terutama di sejumlah lembaga pendidikan Islam tradisional, maka banyak dijumpai kritik terhadap metode yang digunakan. Kritik tersebut terpokus pada metode pembelajaran bahasa yang diterapkan secara parsial atau terpisah-pisah. Akibatnya ilmu kebahasaan yang diterima oleh para siswa juga bersipat parsial. Padahal ilmu bahasa itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain. Antara pendengaran ( استماع ),  pengucapan/pembicaraan ( تكلـّم  ), membaca ( قراءة ) dan menulis)   ( كتابـةtidak dapat dipisah-pisah. Demikian pula antara perbendaharaan kata, pembentukan kata, dan penyusunan kalimat, satu sama lain tidak dapat dipisah-pisahkan. Akibatnya banyak dijumpai siswa  yang menguasai ilmu bahasa seperti, sharaf, nahwu dan perbendaharaan kata secara hapalan, sementara aplikasinya kurang mampu dan kurang baik.
Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran bahasa Arab mulai muncul strategi dan metode baru, yaitu apa yang disebut dengan metode kesatuan / نظرية الوحـدة   (All in one system).[8] Dengan metode ini, bahasa dikaji dari berbagai aspeknya dalam satu wacana tertentu, sehingga belajar bahasa terasa sebagai satu kesatuan yang utuh, bukan bagian-bagian yang terpisah-pisah. Dengan metode ini pula pembelajar bahasa diharapkan dapat memperoleh berbagai keterampilan bahasa, atau dapat memperoleh berbagai pengetahuan tentang bahasa dalam waktu yang sama.
Metode kesatuan yang berorientasi pada pembelajaran bahasa sebagai satu kesatuan yang utuh, terkait dengan aspek-aspek kebahasaan itu sendiri baik dalam hal keterampilan-keterampilan berbahasa maupun pengetahuan-pengetahuan bahasa. Oleh karena itu strateginya harus merepresentasikan semua aspek tersebut, tidak hanya dipokuskan pada aspek tertentu saja. Sebagai konsekwensi dari tuntutan tersebut, maka metode kesatuan dalam oprasinalnya melibatkan aspek-aspek berikut :[9]

a.       Istima’ (Menyimak/Listening)
Aspek ini menitikberatkan pada tata cara pendengaran langsung dari guru tentang cara-cara melafalkan kata-kata atau kalimat berbahaa Arab secara fasih dan benar, sekaligus sambil mempelajari artinya. Kata-kata atau kalimat tersebut diulang-ulang sampai siswa dapat melafalkannya dengan baik dan mengerti artinya. Dengan aspek ini, siswa diharapkan memilki kemampuan dan keteampilan dasar dalam berbahasa Arab, yaitu  keterampilan mendengarkan. Dalam hal ini guru memainkan peranan yang sangat penting, maka dia dituntut bisa menyajikan materi dengan sebaik-baiknya dan memberikan contoh yang jelas kepada para siswa, sehingga mereka bisa menirukan secara benar.
Walaupun menyimak itu bertujuan melatih pendengaran, akan tetapi dalam prakteknya selalu diikuti dengan latihan pengucapan dan pemahaman, bahkan yang disebut terakhir inilah yang menjadi tujuan akhir dari latihan menyimak. Jadi setelah siswa mengenal bunyi-bunyi bahasa Arab melalui ujaran-ujaran yang didengarnya, ia kemudian dilatih untuk mengucapkan dan memahami makna yang dikandung oleh ujaran tersebut. Dengan demikian pelajaran istima’ sekaligus melatih kemampuan reseptif dan produktif.

b.      Takallum (  Percakapan/Speaking)
Kemahiran berbicara merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa yang ingin dicapai dalam pengajaran bahasa asing, termasuk di dalamnya bahasa Arab. Berbicara merupakan sarana utama untuk membina saling pengertian, komunikasi timabal balik, dengan menggunakan bahsa sebagai medianya.
Kegiatan berbicara atau bercakap dalam kelas mempunyai aspek komunikasi dua arah, yakni antara pembicara dengan pendengarnya secara timbal balik. Dengan demikian latihan berbicara harus terlebih dahulu didasari oleh: (a) kemampuan mendengarkan, (b) kemampuan mengucapkan, dan (c) penguasaan kosa kata dan ungkapan yang memungkinkan siswa dapat berkomunikasi.
Aspek ini menitikberatkan pada latihan berbicara dan bercakap-cakap dengan berbahasa Arab. Dalam prakteknya bisa dilakukan antara guru dengan siswa atau anatara siswa dengan siswa dalam bimbingan guru. Apa yang telah diperdengarkan oleh guru kepada siswa mengenai kata-kata atau kalimat hendaknya dipraktekkan langsung oleh siswa dalam bentuk  bicara atau percakapan  baik secara berdua maupun kelompok kecil.
c.       Qiraah (Membaca/Reading)
Membaca sebagai salah satu aspek keterampilan berbahasa memiliki dua pengertian. Pertama, mengubah lambang tulisan menjadi bunyi. Kedua, menangkap arti dari seluruh situasi yang dilambangkan dengan lambanglambang tulisan dan bunyi tersebut.
Esensi dari kemahiran membaca terletak pada aspek  yang kedua, yaitu pemahaman. Namun, ini tidak berarti abhwa aspek yang pertama, yakni pengenalan lamabang-lambang tulisan, tidak penting. Sebab kemahiran dalam aspek pertama mendasari kemahiran yang kedua. Betapa pun  juga, keduanya merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam pengajaran bahasa.
Kemampuan membaca sangat tergantung pada penguasaan kosa kata dan gramatika. Oleh karena itu pada tingkat permulaan, teks bacaan masih perlu diberi syakal, dan secara bertahap dikurangi sesuai dengan perkembangan penguasaan kosa kata dan pola kalimat bahasa Arab oleh para siswa. Tetapi pada prinsipnya, sejak mula siswa dilatih dan dibiasakan membaca tanpa syakal dalam rangka membina dan mengembangkan  kemampuan membaca untuk pemahaman.[10]

d.      Kitabah (Menulis/Writing)
Kemampuan menulis dalam pembelajaran bahasa mempunyai dua aspek orientasi. Pertama, kemahiran membentuk huruf dan menguasai ejaan. Kedua, kemahiran mengungkapkan fikiran, gagasan dan perasaan dengan tulisan. Dalam pengajaran bahasa, inti kemahiran menulis terletak pada aspek kedua, meskipun tidak berarti bahwa aspek pertama diabaikan. Dalam prosesnya, kedua aspek tersebut harus dilatihkan secara baik dan simultan.
Latihan menulis ini pada prinsipnya diberikan setelah latihan menyimak, berbicara dan membaca. Ini tidak berarati bahwa latihan menulis ini hanya diberikan setelah siswa memiliki ketiga kemahiran tersebut.[11] Latihan menulis dapat diberikan pada jam yang sama dengan latihan kemahiran yang lain; sudah tentu dengan memperhatikan tahap-tahap latihan sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.
Selain aspek-aspek keterampilan di atas yang harus diajarkan kepada siswa secara simultan sesuai dengan tuntutan metode kesatuan, juga hedaknya aspek-aspek kebahasaan lain yang bersifat keilmuan menjadi muatan dalam materi pembelajaran. Seperti halnya, materi nahwu dan sharaf, atau bahkan balaghah, meskipun dalam aplikasinya bisa bertahap sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. Dengan mengajarkan berbagai aspek bahasa secara integral, baik bidang yang menyangkut keterampilan maupun keilmuan bahasa, maka pengajaran bahasa Arab dapat dirasakan sebagai sesuatu yang utuh dan komprehensif.
Setelah mengedepankan metode pembelajaran bahasa Arab seperti di atas, selanjutnya akan dikemukan strategi penunjang untuk meningkatkan kemahiran atau kemampuan berbahasa Arab. Adapun strategi tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Kesungguhan dan usaha maksimal
Dengan niat yang sungguh-sungguh dan usaha maksimal belajar bahasa Arab akan berjalan dengan baik, karena sepertinya siswa memeliki motor penggerak yang terus hidup dalam dirinya dan mendorongnya untuk terus dan terus belajar. Mereka tidak akan jemu dan bosan dalam mempelajari bahasa Arab, melainkan justeru penuh semangat dan terarah pada tujuan yang diinginkan.
b.      Mengkondisikan lingkungan
Guna menunjang keberhasilan pembelajaran bahasa Arab, maka sangat perlu penciptaan dan pengkondisian lingkungan tempat belajar yang kondusif dengan dilengkapi berbagai sarana yang memadai. Hal ini menjadi penting, mengingat lingkungan merupakan prasyarat mutlak dalam mengantarkan siswa pada penguasaan bahasa Arab. Lingkungan dalam arti luas, juga menyangkut kondisi tertentu, dimana kebijaka politik memihak pada kepentingan bahasa Arab, baik dalam konteks mokro maupun makro.
c.  Mengadakan Kerjasama
Dalam konteks studi bahasa Arab di Perguruan Tinggi, hendaknya dilakukan kerjasama kelembagaan secara intensif, sehingga ditemukan format yang tepat bagi kepentingan studi bahasa Arab itu sendiri, terutama guna mencapai efektifitas dan efisiensi dalam prosesnya. Kerjasama memberi arti penting dalam rangka tukar menukar pengalaman atau dalam rangka membangun kesepakatan-kesepakatan guna meningkatkan kualitas studi bahasa Arab yang dilaksanakan di lembaga masing-masing. Sebab, dengan jalinan kerjasama yang baik, masing-masing bisa saling mengontrol dan saling berbagi untuk kepentingan yang sama, sehingga nantinya studi bahasa Arab betul-betul mendapat perhatian bersama untuk menuju pada tujuan dan sasaran yang sama pula.


D.  Kesimpulan dan Penutup
            Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa poin kesimpulan sebagai berikut :
1.      Bahasa Arab menempati posisi strategis, baik dalam upaya pemahaman ajaran-ajaran agama Islam maupun sebagai sarana komunikasi antara individu, kelompok atau bahkan antara bangsa-bangsa di dunia guna mewujudkan persatuan umat Islam se dunia. Oleh karena itu, nampaknya perlu direkomendasikan kepada Perguaruan Tinggi Agama Islam agar seharusnya mewajibkan para mahasiswa (fakultas apa pun) untuk mempelajari bahasa Arab.
2.      Sebagai salah satu bidang studi, pendidikan dan pembelajaran bahasa Arab dapat dilakukan dengan metode dan strategi yang dipandang bisa lebih efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan. Diantaranya dengan menerapkan metode kesatuan ( نظرية الوحـدة ). Adapun strategi oprasionalnya dengan cara memadukakan dan memasukkan seluruh aspek keterampilan berbahasa yang meliputi; (a) Istima’/mendengar, (b) Takallum/berbicara, (c) Qiraah/membaca, dan (d) Kitabah/ menulis.  Sedangkan strategi penunjangnya antara lain dengan:  (a) menguatkan niat secara sungguh-sungguh dari berbagai fihak; siswa, guru, lembaga dan institusi pemerintah, (b) penciptaan lingkungan yang kondusif untuk pembelajaran bahasa yang baik, dan (c) melalukan kerjasama yang sistematis dengan berbagai fihak yang terkait, baik internal maupun eksternal.


 



Daftar Pustaka

Abdul ‘Alim Ibrahim, Muwajjih al-Fanny Li Mudarris al-Lughah al-‘Arabiyah,          Daar al-Ma’arif, Mesir, 1964
Ahmad Fuad Efendi, Metodologi Pengajaran bahasa Arab, Misykat, Malang, 2003,
Ahmad Wajito, Majalah Ilmiah ‘Shuhuf”,  Nomor 2 tahun 1992
Chatibul Umam, Aspek-aspek Fundamental dalam Mempelajari bahasa Arab.         PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1980, hlm. 18-19
Imam Bamawi, Qawaid al-Lughah al-‘Arabiyah, Yoyakarta, 1987
Jurnal, Al-Hadharah, Bahasa, Satra dan Budaya Arab, Tahun 2 Nomor 1, 2002
Muh. Ali Al-Khuliy, Asalib Tadris Lughah al-‘Arabiyah, Terj. Yayan Nurbayan, Model Pembelajaran Bahasa Arab, PSIBA, UPI, Bandung, 2002
Muhammad Arqoun dalam “Nalar Islami dan NalarModern” , Jakarta 1994
Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, Rajawali Pers, Jakarta, 1997












[1] Lihat Imam Bamawi, Qawaid al-Lughah al-‘Arabiyah, Yoyakarta, 1987 hlm. 8
[2] Dalam hal ini, sebagai contoh dapat dilihat dibeberpa Pondok Pesantren,baik tardisional maupun
  modern, seperti Pondok Modern Gontor dan Pondok lainnya, bahwa dilembaga ini seluruh santri
  diwajibkan menggunakan bahasa asing terutama bahasa Arab, baik dalam kegiatan komunikasi
  sehari-hari maupun dalam kegiatan belajar di kelas.
[3] Lihat PP nomor 66 Tahun 199 tentang “Pendidikan Tinggi” terutama pada pasal 1 ayat (2).
[4] Lihat Ahmad Wajito dalam Majalah Ilmiah ‘Shuhuf” Nomor 2 tahun 1992
[5] Untuk kepentingan ini  maka dapat dilihat Muhammad Arqoun dalam “Nalar Islami dan Nalar
   Modern”  1994, hlm. 132
[6]  Untuk kepentingan ini, maka sudah sewajarnya apabila masyarakat pengguna dan peminat bahasa Arab seperti amsyarakat kampus yang beridentitas Islam dapat mengoptimalkan penggunaan dan kajian intensif tentang bahasa Arab ini, sehingga ia benar-benar menjadi tuan rumah dinegerinya sendiri.
[7]  Chatibul Umam, Aspek-aspek Fundamental dalam Mempelajari bahasa Arab. PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1980, hlm. 18-19
[8] ‘Abdul ‘Alim Ibrahim, Muwajjih al-Fanny Li Mudarris al-Lughah al-‘Arabiyah, Daar al-Ma’arif, Mesir, 1964, hlm. 50
[9] Ahmad Fuad Efendi, Metodologi Pengajaran bahasa Arab, Misykat, Malang, 2003, hlm.100
[10] ‘Abdul ‘Alim Ibrahim, Op. Cit, hlm.57
[11] Muh. Ali Al-Khuliy, Asalib Tadris Lughah al-‘Arabiyah, Terj. Yayan Nurbayan, Model Pembelajaran Bahasa Arab, PSIBA, UPI, Bandung, 2002 hlm. 102

Read more

Pendekatan Komunikatif BA

0

Pendekatan Komunikatif
Dalam Pembelajaran Bahasa Arab

A. Pendahuluan

Peran bahasa bagi kehidupan manusia demikian penting sehingga pengajaran bahasa menuntut kecermatan, tujuannya agar bahasa bermakna fungsional. Oleh karena itu, terdapat perbedaan filosofi antara belajar berbahasa dengan belajar pengetahuan yang lain. Belajar pengetahuan pada umumnya, seseorang dituntut untuk mengetahui secara kognitif, afektif, dan psikomotor. Hal ini menurut Syaifullah Kamalie (2005) berbeda dengan belajar berbahasa (mendengar, membaca, berbicara, dan menulis) yang merupakan alat ekspresi dan komunikasi, maka seseorang dituntut untuk belajar mengaplikasikan bahasa itu sendiri dalam berekspresi dan berkomunikasi sehari-hari. Bahasa bukan hanya dipelajari secara teoretik, melainkan dipelajari secara praktis dan fungsional. Dalam pembelajaran berbahasa, apalah arti sebuah konsep dan teori, jika tidak pernah dipergunakan/dipraktikkan dalam interaksi sosial di masyarakat.
Dalam perspektif tersebut, berlaku teori learning by doing (belajar sambil dipraktikkan). Tanpa melakukan praktik secara langsung, maka konsep itu bukan lagi dikatakan sebagai belajar  berbahasa, melainkan belajar tentang bahasa. Hal tersebut tidak menyentuh substansi/hakikat belajar bahasa sebagaimana yang diharapkan. Filosofi di atas menggambarkan bahwa bahasa merupakan pengetahuan  instrumental yang menuntut penguasaan secara teknis fungsional, artinya bahwa belajar bahasa adalah praktik langsung dan upaya pembiasaan.
Pendekatan komunikatif diyakini sebagai salah satu asumsi yang dapat menjadi landasan tepat untuk digunakan dalam pembelajaran bahasa asing, termasuk di dalamnya bahasa Arab. Pendekatan ini menurut Azhar Arsyad (2003) secara sosiolinguistik maupun psikolinguistik lebih sesuai dengan hakikat bahasa, khususnya bahasa Arab sebagai salah satu bahasa Internasional yang mempunyai karakteristik tersendiri.

B.  Sejarah Perkembangan Pendekatan Komunikatif

Awal kemunculan pendekatan komunikatif ini dilatari oleh ketidak puasannya terhadap penggunaan metode audio-lingual, yang meski telah berjalan sejak tahun enam puluhan, tetapi tidak kunjung memberikan perubahan berupa kemampuan berkomuikasi secara lancar. Teori yang dijadikan landasan pun sering dikecam oleh para linguis karena suatu pendekatan aural-oral atau metode audio-lingual didasarkan atas teori tata bahasa strukturalisme dan teori ilmu jiwa behaviorisme.6
Noam Chomsky, seorang pencetus teori tata bahasa transformasi-generatif dari Amerika Serikat sangat mengecam linguistik struktural karena teori ini tidak mampu menunjukan hubungan- hubungan yang berkaitan dengan makna, dan tidak mampu menunjukkan hubungan antarkalimat.
Teori ini hanya menyentuh struktur luar dan kalimat-kalimat yang pola dan trukturnya sama, bisa memiliki makna yang berbeda.7 Chomsky juga mengkritik teori behaviorisme untuk landasan pembelajaran bahasa karena kemampuan berbahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor dari luar (eksternal), melainkan juga faktor dari dalam (internal). Sebenarnya, setiap manusia memiliki kemampuan belajar bahasa yang dibawa sejak lahir, yang biasa disebut dengan jihaz iktisab   al-lughah atau Language Acquisition Devic (LAD). Di samping itu, Chomsky mempersoalkan relevansi dari aktivitas peniruan, pengulangan, rangsangan, dan penguatan yang menjadi fokus perhatian dari behaviorisme.
Kritikan yang disampaikan Chomsky ini akhirnya mendorong para ahli dan praktisi pengajaran bahasa untuk melakukan evaluasi terhadap konsep-konsep pembelajaran bahasa yang berlaku selama ini. Oleh karena itu, bersamaan dengan lahirnya teori kognitivisme dalam psikologi, teori transformasi- generatif dalam linguistik, dan teori LAD dalam psikolinguistik, maka muncullah berbagai pendekatan dan metode baru dalam pengajaran bahasa, antara lain: metode pemahaman dan pemecahan kode-kode bahasa (cognitive code learning), metode guru diam (silent way), metode belajar bahasa pemahaman (community language learning), pendekatan alamiah (the natural approach), dan yang terakhir adalah pendekatan komunikatif (the communicative approach).8


C. Makna Pendekatan Komunikatif

Pendekatan (approach) pengajaran bahasa sering dipahami sebagai sekumpulan asumsi mengenai hakikat bahasa, pengajaran bahasa, dan belajar bahasa. Kebenarannya tentu bersifat umum dan aksiomatik (Muljanto Sumardi:1983). Pendekatan ini kemudian diterjemahkan secara lebih operasional dan melahirkan berbagai metode, teknik, dan strategi untuk menguasai bahasa.
Pendekatan komunikatif mempunyai karakteristik tersendiri, karenanya dipandang sangat cocok digunakan dalam pengajaran bahasa asing, termasuk di dalamnya bahasa Arab. Pendekatan komunikatif mengasumsikan bahwa hakikat bahasa sebagaimana dikemukakan Ali al-Khuly (1982) adalah medium komunikasi antar individu dalam masyarakat, dalam rangka mentransfer berbagai pikiran, tanggapan, maupun perasaan. Pendekatan ini lebih menekankan pada fungsionalisasi bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, aktivitas pengajaran lebih menonjolkan aspek latihan dan pembiasaan berekspresi, kemampuan memahami, dan memberi tanggapan terhadap apa yang diucapkan orang lain.
Dengan pendekatan komunikatif tersebut, orang yang belajar bahasa harus memperoleh latihan- latihan mengenali bunyi secara baik, membedakan satu bunyi dengan bunyi yang lainnya, membedakan satu kata dengan kata lainnya, suatu kalimat dengan kalimat lainnya, dan mengenali penanda gramatika satu dengan lainnya (العلامات النحوية) seperti urutan kata, imbuhan, dan intonasi. Ketika komunikasi itu menggunakan bahasa tulisan, maka target utamanya adalah kemampuan menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan, dan kemampuan memahami apa yang dibaca. Menurut Muhbib Abdul Wahab (2004) kemampuan ini dapat diperoleh jika tahap pengenalan dan penggunaan secara lisan telah dapat dikuasai terlebih dahulu. Dengan kata lain, latihan-latihan membaca (قراءة) dan menulis (كتابة) hendaknya merupakan refleksi dan reproduksi dari latihan-latihan mendengar (استماع) dan mengucapkan (كلام).
Muhbib Abdul Wahab (2004) lebih lanjut  mengatakan bahwa pendekatan komunikatif ini memiliki tiga tujuan utama, yakni (1) mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berbicara dengan menggunakan bahasa Arab, (2) mengembangkan perbendaharaan bahasa dan fungsionalisasi pengetahuan kebahasaan mereka dalam bertanya jawab secara alami dalam situasi yang bervariasi, dan (3) mengembangkan kemampuan dalam berkreasi dan berkomunikasi lisan secara efektif dengan sesamanya dan dengan penutur bahasa Arab. Bahkan, menurut Mulyanto Sumardi (1989) pendekatan komunikatif ini sangat cocok digunakan untuk kelas-kelas pada sekolah di Indonesia karena tidak menuntut teknologi yang canggih.

D.  Karakteristik Pendekatan Komunikatif

Terdapat beberapa karakteristik dalam pendekatan komunikatif ini sebagaimana yang dikemukaka Ahmad Fuad Efendi (2003), antara lain sebagai berikut.
a. Tujuan pembelajaran bahasa adalah mengembangkan kemampuan pelajar untukberkomunikasi secara langsung dengan menggunakan bahasa target dalam konteks komunikasi yang sesungguhnya atau dalam situasi kehidupan yang nyata (real). Tujuan pendekatan komunikatif ini tidak diarahkan untuk penguasaan gramatika atau kemampuan membuat kalimat gramatikal yang bersifat pasif-teoretik saja, melainkan pada kemampuan memproduk ujaran yang sesuai dengan konteks.
b.  Hal yang mendasar dari pendekatan komunikatif ini adalah kebermaknaan dari setiap bentuk bahasa yang dipelajari dan keterkaitan bentuk, ragam, dan makna bahasa dengan situasi dan konteks berbahasa itu.
c.  Dalam proses belajar-mengajar siswa bertindak sebagai komunikator yang berperan aktif dalam aktivitas komunikasi yang sesungguhnya, sedangkan pengajar memprakarsai dan merancang berbagai pola interaksi antarsiswa,dan berperan sebagai fasilitator.
d.  Aktivitas dalam kelas diwarnai secara nyata dan dominan oleh kegiatan–kegiatan komunikasi, bukan latihan-latihan manipulatif dan peniruan-peniruan tanpa makna.
e.   Materi yang disajikan bervariasi, tidak hanya mengandalkan buku teks, tetapi lebih ditekankan pada bahan-bahan otentik (berita koran, majalah, iklan, dan sebagainya). Dari bahan-bahan tersebut, pemerolehan bahasa pelajar diharapkan meliputi bentuk, makna, fungsi, dan konteks sosial.
f.    Penggunaan bahasa pertama dalam kelas tidak dilarang sama sekali, tetapi alangkah baiknya dikurangi.
g. Dalam pendekatan komunikatif, kesiapan siswa ditoleransi untuk mendorong keberanian berkomunikasi.
h.  Evaluasi dalam pendekatan komunikatif ditekankan pada kemampuan menggunakan bahasa dalam kehidupan nyata, bukan pada penguasaan struktur bahasa atau gramatika.
E. Prinsip-prinsip dalam Penggunaan Pendekatan Komunikatif

Savignon (1983), seperti dikutip Ahmad Fuad Efendy (2003), menegaskan bahwa terdapat beberapa prinsip dasar (asumsi) yang menjadi landasan pendekatan komunikatif dan sekaligus membedakannya dengan prinsip yang dijadikan landasan metode audio-lingual. Diantara prinsip-prinp tersebut adalah :
1)      Pendekatan komunikatif bersifat dinamais, dalam praktiknya tergantung pada negosiasi makna antara dua penutur atau lebih yang sama-sama mengenal kaidah pemakaian bahasa. Dengan demikian, pendekatan komunikatif lebih bersifat interpersonal daripada intrapersonal.
2)      Pendekatan komunikatif berlaku pada bahasa lisan, bahasa tulisan dan berbagai sistem simbol lainnya.
3)      Pendekatan komunikatif bersifat kontekstual, karena komunikasi terjadi pada berbagai situasi. Maka kegiatan berbahasa harus memperhatikan pilihan ragam dan gaya bahasa yang sesuai dengan situasi dan  kondisi yang ada.
4)      Dalam pendekatan komunikatif lebih ditekankan performansi bahasa bukan kompetensi bahasa. Sebab, kompetensi lebih berorientasi pada apa yang diketahui, sedangkan performansi adalah apa yang dilakukan. Dengan demikian performansilah yang bisa diamati, dikembangkan, dipertahankan dan dievaluasi.
5)      Pendekatan komunikatif bersifat relatif, tidak absolut.Dalam hal ini tergantung pada kerjasama antara partisifan yang terlibat.
Selanjutnya, penggunaan pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa berkaitan erat dengan pemilihan bahan ajar yang akan disajikan. Oleh karena itu dengan pendekatan ini ada beberapa prinsip mendasar yang harus diprhatikan dalam pemilihan bahan ajar kebahasaan, yaitu :
a)      Prinsip kebermaknaan. Ini berarti bahwa setiap materi bahasa yang disajikan harus jelas konteksnya, partisifannya atau situasinya.
b)      Prinsip pemakaian bahasa bukan pengetahuan bahasa. Oleh karena itu bahan ajar berupa unsur bahasa seperti ; kosakata dan tata bahasa  ( المفردات والقواعد ) jangan terpisah dari konteks kalimat atau wacana, karena tujuan utamanya bukan hanya memahami kosakata dan kaidah melainkan penggunaannya dalam ungkapan komunikatif.
c)      Prinsip kemenarikan bahan ajar. Dalam hal ini, pembelajaran bahasa harus memperhatikan variasi bahan, minat dan kebutuhan pelajar. Menjajagi minat dan kebutuhan pelajar adalah hal sangat penting dalam pemilihan bahan ajar agar lebih menarik sehingga pembelajaran lebih kondusif dan mendorong partisifasi pelajar.  


F. Aplikasi Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Arab

Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam mengaplikasikan pendekatan komunikatif pembelajaran bahasa Arab. Pertama, pendekatan ini harus dapat diterjemahakan dalam bentuk desain silabus yang memadai. Kedua, pendekatan ini harus diaplikasikan dengan menggunakan metode dan strategi pembelajaran yang mendukung.

1. Desain Silabus Bahasa Arab Berbasis Pendekatan Komunikatif

Silabus adalah garis-garis besar program pengajaran yang diterjemahkan oleh para pengajar ke dalam kegiatan belajar-mengajar. Menurut Wilkins, strategi pembelajaran bahasa dapat dibedakan menjadi dua tipe, yakni strategi analitik dan sintetik; dan masing –masing melahirkan model silabus yang berbeda. Dalam strategi sintetik, unsur-unsur bahasa (نحو , صرف ومفردات) diajarkan secara terpisah-pisah atau sering disebut dengan teori parsial ( نظرية القروع ). Strategi ini melahirkan model silabus yang struktural, yang membagi unit-unit pelajaran berdasarkan butir-butir gramatikal. Silabus ini terdiri dari dua komponen; qawaid (نحو وصرف) dan mufradat. Butir-butir struktur ini disampaikan berdasarkan prinsip-prinsip kesederhanaan, keterpakaian, dan tingkat kesulitan. Sedangkan mufradat disajikan berdasarkan kebutuhan untuk menguasai qawa’id.
Sementara itu, strategi analitik melahirkan model silabus semantik yang menargetkan pemerolehan kemampuan berbahasa. Oleh karena itu, menyusunannya lebih rumit daripada silabus struktural. Setiap unit pelajaran dirancang untuk menampilkan seperangkat keterampilan berbahasa tertentu dalam konteks tertentu pula. Silabus semantik ini juga terbagi lagi dalam tiga tipe, yakni situasional, fungsional, dan nasional.
Silabus situasional dimaksudkan agar unit pelajaran diorganisasikan berdasarkan situasi di mana pemakaian bahasa diperlukan. Penggunaan bahasa berdasarkan konteks menjadi utama, sedangkan aspek-aspek lain dari silabus seperti mufradat dan qawa’id dipilih berdasarkan tuntutan situasi. Pengorganisasian unit pelajaran juga bisa berbasis tema atau topik (sehingga disebut silabus tematik). Setiap tema atau topik bisa mengandung beberapa situasi, seperti tema “المدرسة” bisa mencakup situasi-situasi antara lain: إدارة رئيس المدرسة, إدارة الأساتذ,, المكتبة,.”
Silabus fungsional, dimaksudkan bahwa fungsi bahasa akan menjadi basis pengorganisasian unit pelajaran. Aspek-aspek yang lain seperti mufradat dan qawa’id dipilih dan disajikan berdasarkan kategori fungsi bahasa. Topik-topik yang dapat dimasukkan dalam silabus ini yaitu kegiatan keseharian yang bisa diberi judul semisal التحيّة (penghormatan), التهانيء (ucapan selamat), عبارات الشكر والاعتذار (ucapan syukur dan permohonan ma’af), dan lain-lain. Silabus jenis fungsional ini sering ditemukan pada buku-buku percakapan atau muhadasah, di mana buku-buku tersebut merupakan buku acuan yang secara fungsional menjadi model atau contoh-contoh.
Sedangkan silabus nasional dimaksudkan untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada silabus situasional dan fungsional. Silabus nasional ini bersifat elektif sekaligus kompilatif. Kedua model silabus tersebut menciptakan alternatif yang dipandang sesuai dengan kondisi peserta didik.
Sebagai pendekatan terbaru, model itu mengakomodasi, mensitesakan, dan merevisi pendekatan silabus yang sebelumnya, silabus komunikatif dapat dipandang sebagai alternatif dari kedua model silabus yang ada, yakni silabus struktural dan semantik. Silabus komunikatif mengasumsikan bahwa penguasaan bahasa haruslah mencakup batasan kemampuan minimal yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat hidup selayaknya di suatu negeri, yang penduduknya menggunakan bahasa target sebagai alat komunikasi sehari-hari. Menurut Fuad Efendi (2003) struktur silabus komunikatif hendaknya menjelaskan empat hal, yakni: (1) fungsi bahasa (menyampaikan informasi, mengungkapkan gagasan, tanggapan, dan lain-lain); (2) nosi dan ranah bahasa (tempat, situasi, dan waktu penggunaan bahasa); (3) kegiatan berbahasa (menguasai keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis); dan (4) tingkat keterampilan yang diperlukan berisi keterangan tentang tingkat keterampilan para pelajar, yang diharapkan ialah melaksanakan fungsi-fungsi bahasa, melakukan kegiatan berbahasa yang telah dijelaskan sebelumnya sehingga terjadi komunikasi secara efisien dan wajar.

2. Strategi Pembelajaran Bahasa Arab dengan Pendekatan Komunikatif

Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam dan merupakan komunitas muslim yang sebenarnya sudah sangat akrab dan familiar dengan terma-terma maupun simbol-simbol Arab. Hal ini merupakan modal dan ruang yang cukup kondusif bagi pengembangan berbahasa Arab. Akan tetapi, dari beberapa fakta di lapangan, banyak hal yang memprihatinkan dan tidak mudah melakukan kegiatan pembelajaran bahasa Arab di tengah mereka, terlebih dengan pendekatan komunikatif. Artinya, bahwa perlu ada strategi alternatif untuk lebih membuat pembelajaran bahasa Arab ini lebih menarik dan memiliki efektivitas yang tinggi.
Dengan demikian, dalam rangka mengimplementasikan pendekatakan komunikatif dalam pembelajaran bahasa Arab ada beberapa strategi pembelajaran yang biasa dietrapkan, diantaranya adalah:
Pertama, dalam proses pembelajaran dengan pendekatan komunikatif, bahasa sebagai instrumen utama untuk komunikasi harus difungsikan secara maksimal. Dalam hal ini, aktivitas belajar berbahasa lebih diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat ekspresif. Bahkan, menurut Robert Lado, sebagaimana dikutip Umar Asasuddin Sokah (1982), hal itu dikenal dengan ‘lima semboyan berbahasa. Menurutnya, berbahasa haruslah dimulai dengan menerapkan lima prinsip, yakni (1) bahasa adalah ujaran bukan tulisan, (2) bahasa adalah seperangkat kebiasaan, (3) ajarkan bahasa bukan sesuatu tentang bahasa, (4) bahasa adalah apa yang dikatakan oleh penutur asli dan bukan apa yang dikatakan oleh orang, dan (5) bahasa-bahasa itu berbeda. Apa yang dikatakan Lado tersebut menggambarkan betapa substansi bahasa itu sendiri adalah  berbahasa secara fungsional atau berkomunikasi langsung. Strategi yang digunakan adalah metode langsung ( طريقة مباشرة ) dan metode alamiah ( طريقة طبيعية ).
Kedua, menurut Lado, belajar hendaknya lebih menekankan pada materi percakapan karena materi ini lebih sesuai dengan hakikat pembelajaran bahasa sebagai alat komunikasi. Metode dan teknik yang digunakan adalah metode ‘dengar-ucap’        (طريقة سمعية شفوية) dan metode langsung dengan menekankan latihan pendengaaran dan ucapan. Kondisi lingkungan pelajar menjadi hal yang sangat utama dan merupakan hambatan yang paling sering dihadapi pelajar.
Ketiga, topik yang disajikan dalam pembelajaran haruslah topik yang dibutuhkan, difungsikan, dan menjadi perhatian dalam kehidupan sehari-hari. Perlu dihindari materi atau topik pembelajaran yang sering tidak konteks dengan kehidupan nyata, yang dialami para pelajar. Oleh karena itu, pengajar dituntut untuk kreatif dalam memilih materi yang disajikan.
Keempat, kegiatan pembelajaran diperkuat dengan latihan-latihan penggunaan bahasa yang produktif. Latihan-latihan ini dapat berupa latihan pengucapan vokal dan konsonan, penggunaan tekanan kata, tekanan kalimat, tinggi rendahnya nada ‘intonasi’, ( تنغيم ) persendian ( نبر ), pemilian kata yang tepat ( عبارات ), penggunaan kalimat atau ungkapan untuk situasi yang tepat, dan penyusunan kalimat menjadi paragraf untuk kemudian dikembangkan menjadi uraian buah pikiran yang logis dan bulat.
Kelima, guru hendaknya lebih mengembangkan sikap fasilitatif dan motivatif dalam rangka menciptakan sikap inisiatif pada peserta didik. Kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam latihan hendaknya disikapi dengan baik agar tidak menimbulkan traumatik sekecil apapun. Hal ini berarti siswa diberi kebebasan untuk berekspresi tanpa takut salah.
Keenam, jumlah peserta hendaknya tidak terlalu banyak untuk memudahkan kontrol dan menggunakan pola berpasang-pasangan. Sekali lagi, jumlah peserta dalam setiap kelas berkorelasi dengan intensitas bimbingan guru dan kesempatan peserta didik untuk aktif dalam proses pembelajaran.
Ketujuh, banyak tugas dan latihan yang diberikan kepada para murid dalam rangka menciptakan rasa tanggung jawab. Tugas tersebut juga harus memperhitungkan pendekatan komunikatif dalam artian fungsional.
Kedelapan, lingkungan diciptakan untuk mendukung suasana penguatan pembelajaran bahasa tersebut dengan membuat tata ruang yang tepat dan kondusif, serta adanya simbol-simbol bahasa. Pembelajaran bahasa sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang ada di sekitar penutur bahasa tersebut seperti pendengar, topik pembicaraan, kode yang digunakan, lokasi kejadian, dan amanat atau pesan pembicaraan. Menurut Heidi Dulay dkk., seperti dikutip Sumarsono (2000), terdapat empat lingkungan makro yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran bahasa, yakni: (1) kealamiahan bahasa yang didengar, (2) ketersediaan acuan untuk memperjelas makna, (3) peranan pembelajar dalam berkomunikasi, dan (4) siapa yang menjadi model bahasa sasaran.
Kesembilan, perlu adanya organisasi yang dibentuk dan dipimpin oleh leader yang memiliki kemampuan leadership unggul, memiliki apresiasi, dan komitmen yang tinggi tentang kebahasaan. Bahasa membutuhkan model dan figur yang konsisten untuk membangun budaya berbahasa yang efektif.
Kesepuluh, waktu yang dibutuhkan relatif lebih banyak dan lama karena digunakan dalam kegiatan praktik. Untuk meluaskan waktu dalam belajar bahasa, maka guru atau sekolah dapat memanfaatkan kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler sebagai arena untuk praktik bahasa.


  
Daftar Pustaka

Ali al-Khouly, Muhammad. 1982. Asalib Tabrisil Lughah al-Arabiyah. Riyadl: Mathabi’ al-Farazdaq wa al-Tijarah, al-Mamlakah al-Saudiyah.
Arsyad, Azhar. 2003. Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya: Beberapa Pokok Pikiran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Asrori, Imam. 2004. Sintaksis Bahasa Arab: Frasa, Klausa, Kalimat. Malang: Misykat
Aziz, Furqanul dan Chaedar al-Wasliyah. Pengajaran Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktek. Bandung; Remaja Rosdakarya.
Efendy, Ahmad Fuad. 2004. Metodologi Pengajaran Bahasa Arab. Malang: Misykat.
Kamalie, Saifullah. 2004. Menciptakan Lingkungan Untuk Belajar Bahasa Arab, Jakarta: Balai Diklat Departemen Agama.
Sokah, Umar Asasuddin. 1982. Problematika Pengajaran Bahasa Arab danInggris. Surabaya: Nur Cahaya.
Sumardi, Mulyanto. 1989. Pengembangan Pemikiran dalam Pengajaran Bahasa. Jakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah.
Sumarsono. 2000. “Peranan Guru Sebagai Lingkungan Belajar Bahasa Kedua”, dalam http;//www.ialf.edu/bipa/april 2000/perananguru.html.
Umam, Khotibul. 1980. Aspek-Aspek Fundamental dalam Mempelajari Bahasa Arab. Bandung: PT al-Ma’arif.
Wahab, Abdul Muhbib. 2005. “Teknik dan Model Penyajian Materi Bahasa Arab” dalam Diklat Guru BahasaAraboleh Departemen Agama di Jakarta.
Zaenuddin, Rodliyah. 2005. Pembelajaran Bahasa Arab (Metode dan Strategi Alternatif). Cirebon: STAIN

Read more

Pengajaran Membaca

0

أساليب لتنمية مهارات القراءة ( المطالعة)

هناك أساليب كثيرة لتنمية مهارات القراءة ( المطالعة ) ومن أهم هذه
الأساليب :

1- تدريب الطلاب على القراءة المعبرة والممثلة للمعني ، حيث حركات اليد وتعبيرات الوجه والعينين ، وهنا تبرز أهمية القراءة النموذجية من فبل المعلم في جميع المراحل ليحاكيها الطلاب .

2- الاهتمام بالقراءة الصامتة ، فالطالب لا يجيد الأداء الحسن إلا إذ فهم النص حق الفهم ، ولذلك وجب أن يبدأ الطالب بتفهم المعنى الإجمالي للنص عن طريق القراءة الصامتة ، ومناقشة المعلم للطلاب قبل القراءة الجهرية.

3- تدريب الطلاب على القراءة السليمة ، من حيث مراعاة الشكل الصحيح للكلمات ولا سيما أو أخرها
4-  معالجة الكلمات الجديدة بأكثر من طريقة مثل : استخدامها في جملة مفيدة ، ذكر المرادف ، ذكر المضاد ، طريقة التمثيل ، طريقة الرسم ، وهذه الطرائق كلها ينبغي أن يقوم بها الطالب لا المعلم فقط يسأل ويناقش ، وهناك طريقة أخري لعلاج الكلمات الجديدة وهي طريقة الوسائل المحسوسة مثل معنى كلمة معجم وكلمة خوذة ، وهذه الطريقة يقوم بها المعلم نفسه !! .

5- تدريب الطلاب على الشجاعة في مواقف القراءة ومزاولتها أمام الآخرين بصوت واضح ، وأداء مؤثر دون تلجلج أو تلعثم أو تهيب وخجل ، ولذلك نؤكد على أهمية خروج الطالب ليقرأ النص أمام زملائه ، وأيضاً تدريب الطالب على الوقفة الصحيحة ومسك الكتاب بطريقة صحيحة وعدم السماح مطلقاً لأن يقرأ الطالب قراءة جهرية وهو جالس.

6- تدريب الطالب على القراءة بسرعة مناسبة ، وبصوت مناسب ومن الملاحظ أن بعض المعلمين في المرحلة الابتدائية يطلبون من طلابهم رفع أصواتهم بالقراءة إلى حد الإزعاج مما يؤثر على صحتهم ولا سيما حناجرهم.

7- تدريب الطلاب على الفهم وتنظيم الأفكار في أثناء القراءة .

8- تدريب الطلاب على القراءة جملة جملة ، لا كلمة كلمة ، وتدريبهم كذلك على ما يحسن الوقوف عليه

9- تدريب الطلاب على التذوق الجمالي للنص ، والإحساس الفني والانفعال الوجداني بالتعبيرات والمعاني الرائعة.

10- تمكين الطالب من القدرة على التركيز وجودة التلخيص للموضوع الذى يقرؤه .

11-
تشجيع الطلاب المتميزين في القراءة بمختلف الأساليب كالتشجيع المعنوي ، وخروجهم للقراءة والإلقاء في الإذاعة المدرسية وغيرها من أساليب التشجيع .

12- غرس حب القراءة في نفوس الطلاب ، وتنمية الميل القرائي لدى الطلاب وتشجيع على القراءة الحرة الخارجة عن حدود المقرر الدراسي ووضع المسابقات والحوافز لتنمية هذا الميل .

13- تدريب الطلاب على استخدام المعاجم والكشف فيها وحبذا لو كان هذا التدريب في المكتبة .

14- تدريب الطلاب علي ترجمة علامات الترقيم إلى ما ترمز إليه من مشاعر وأحاسيس ، ليس في الصوت فقط بل حتى في تعبيرات الوجه .

15- ينبغي ألا ينتهي الدرس حتى يجعل منه المعلم امتداداً للقراءة المنزلية أو المكتبية .

16- علاج الطلاب الضعاف وعلاجهم يكون بالتركيز مع المعلم في أثناء القراءة النموذجية ، والصبر عليهم وأخذهم باللين والرفق ، وتشجيعهم من تقدم منهم ، وأما أخطأ الطلاب فيمكن إصلاحها بالطرق التالية :

-
تمضي القراءة الجهرية الأولى دون إصلاح الأخطاء إلا ما يترتب عليه فساد المعنى
-
بعد أن ينتهي الطالب من قراءة الجملة التي وقع الخطأ في إحدى كلماتها نطلب إعادتها مع تنبيهه على موضوع الخطأ ليتداركه .
-
يمكن أن نستعين ببعض الطلاب لإصلاح الخطأ لزملائهم القارئين .
-
قد يخطئ الطالب خطأ نحوياً أو صرفياً في نطق الكلمة فعلى المعلم أن يشير إلى القاعدة إشارة عابرة عن طريق المناقشة .
-
قد يخطئ الطالب في لفظ كلمة بسبب جهله في معناها وعلاج ذلك أن يناقشه المعلم حتى يعرف خطأه مع اشتراك جميع الطلاب فيما اخطأ فيه زميلهم .
-
يرى التربويين أنه إذا كان خطأ الطالب صغيراً لا قيمة له وخصوصاً إذا كان الطالب من الجيدين ونادراً ما يخطئ فلا بأس من تجاهل الخطأ وعدم مقاطعته .

المراجع :

- اساليب تدريس اللغة العربية : عماد توفيق السعدي وآخرون 0
- تدريس فنون اللغة العربية : د/ علي احمد مدكور 0
- تعليم اللغة العربية د/ حسن شحاته 0
- خصائص اللغة وطرق تدريسها : د/ نايف معروف 0
- طرق تدريس اللغة العربية : د/ زكريا اسماعيل 0
- طرق تدريس اللغة العربية : جودت الركابي 0
- طرق تعليم اللغة العربية : د/ محمد عبدالقادر احمد0
- الموجه العلمي لمدرس اللغة العربية : عابد توفيق الهاشمي 0
-  الموجة الفني لمدرسي اللغة العربية : عبدالعليم ابراهيم

Read more

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting